Senja di Pelabuhan Kecil (Chairil Anwar) Gerimis mempercepat kelam. ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. Kalimat kritik yang tepat untuk bait puisi tersebut adalah….
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Ini kali tidak ada yang mencari cintadiantara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenangmenemu bujuk pangkal bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalanmenyisir semenanjung, masih pengap harapsekali tiba diujung dan sekalian selamat jalan 1 2 Lihat Puisi Selengkapnya
MenurutGoenawan Mohamad, dalam puisi macam ini, makna kalimat demi kalimat terkadang tak sepenuhnya kita pahami. Akan tetapi, keutuhan suasananya, total merasuk ke dalam diri kita, langsung dan sekaligus (dalam Hoerip, 1982: 164). Baik sajak "Senja di Pelabuhan Kecil" karya Chairil Anwar, maupun sajak yang ditulis penyair sebelumnyaSENJA DI PELABUHAN KECIL Karya Chairil Anwar Ini kali tidak ada yang mencari cinta diantara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap 1946 Chairil Anwar Puisi yang berjudul “Senja Di Pelabuhan Kecil” ini ditulis pada tahun 1946 oleh Chairil Anwar dan dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern karya ini tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan 45. Tema yang diangkat dalam puisi ini adalah tentang kemanusiaan lebih spesifik lagi tentang perasaan si penyair kepada orang yang tidak lagi dicintainya. Pilihan kata yang lugas dan mengandung makna mendalam sulit kita jumpai pada penyair jaman sekarang ini. Resapan hati Chairil Anwar ditumpahkan semuanya dalam Puisi Senja di Pelabuhan Kecil. Isi dari puisi “Senja Di Pelabuhan Kecil” ini lebih menonjolkan kesendirian yang dirasakan penyair, karena penyair ingin melukiskan perasaannya melalui syair yang dibuatnya. Dalam puisi ini penyair mengungkapkan bahwa kegagalan cinta itu menyebabkan hatinya sedih dan tercekam. Ia membutuhkan seseorang untuk menghibur dirnya. Namun seseorang yang diharapkan tersebut justru pergi meninggalkannya. Pengarang merasa itu semua merupakan sebuah kegagalan. Hal itu menyebabkan seolah-olah pengarang kehilangan segala-galanya. Ketika seseorang mulai berusaha untuk bangkit dari kesedihannya, menandakan bahwa ia bisa menguasai dirinya. Namun, ketika seseorang sudah berusaha bangkit tetapi sia-sia, hal itu yang bisa menyebabkan dirinya terganggu. Semua bisa terganggu ketika hal yang ia alami tidak sesuai dengan keinginannya dan menyebabkan hal buruk. Yakinlah dibalik itu semua ada suatu keindahan yang akan segera kita saksikan. Manusia hanya berdoa dan berusaha untuk yang terbaik. Kebahagiaan hakiki terletak pada diri setiap insan manusia yang selalu bersyukur atas segala yang telah kita nikmati dalam hidup. Amanat yang terkandung dalam puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” ini yaitu Ketika ada masalah jangan bersedih terus-menerus, segeralah bangkit dari kesedihan. Selalu mencari cinta sejati tanpa mengenal lelah, karena cinta sejati baru akan ada ketika usaha kita disertai dengan doa yang tulus dan ikhlas. Cinta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, cinta kepada sesama, dan cinta kepada alam raya. Penulis Anggi Eria Rahayu dan Riska Fitriana PBSI STKIP PGRI Pacitan Jawa Timur
Misalnya saja. Dari analisis beberapa puisi ini berdasarkan lapisan suaranya, puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” didominani oleh vokal bersuara berat a dan u. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa puisi ini dari segi lapis suaranya sangat jelas tergambar unsur lambang rasanya (klanksymboliek).Di pusat kota kecil tempat Lin Munru tinggal terdapat suatu simpang bercabang lima. Cabang yang menuju timur terbelah dua. Satu yang lebih besar mengarah ke kantor polisi, sedang cabang yang lebih kecil mengarah ke sebuah krematorium tua. - KEDUA jalan itu dipisahkan oleh deretan pertokoan yang menjual barang-barang apkir, misalnya mesin tik, poster, setrika arang, sepatu kuda, atau saputangan. Jika orang-orang luar datang berkunjung ke wilayah itu mungkin mereka akan terheran-heran sebab bukan saja toko-toko itu sepi pembeli, melainkan juga karena jika ada orang yang masuk ke toko-toko itu malah pemiliknya yang terheran-heran. Pernah ada cerita yang beredar di wilayah itu tentang seorang noni yang hendak membeli saputangan. Noni ini memang masuk ke toko yang menjual saputangan, tapi pemilik toko bilang bahwa dia tidak menjual saputangan. Si noni merasa tersinggung, lalu mengumpat-umpat. Si pemilik toko kemudian menunjukkan bahwa yang dijualnya memang bukan saputangan, melainkan cumi-cumi mainan yang terbuat dari karet dan dipajang dengan cara direntangkan. Cerita itu pada mulanya tidak masuk akal dan kurang diterima, tapi setelah seorang penyair menulis puisi tentang cumi-cumi yang dibayangkannya seperti saputangan, banyak orang jadi percaya. Puisi itu sendiri dibeli oleh seorang pemilik toko perlengkapan memancing, kemudian dicetak dan dipajang di dinding tokonya. Situasi pertokoan yang sepi berbanding terbalik dengan jalan di depannya. Di antara lima cabang jalan, jalan ini yang paling ramai, setidaknya sama ramainya dengan jalan yang mengarah ke barat, ke arah pasar terbesar di kota kecil itu. Waktu masih kecil Lin Munru suka berjalan-jalan di depan pertokoan. Dia senang mengamat-amati para pemilik toko yang duduk-duduk sepanjang hari di depan tokonya. Kadang-kadang dia punya keinginan menyeberang dan tiap kali menyeberang dia pasti nyaris tertabrak kendaraan. Para pengendara yang pernah nyaris menabrak Lin Munro pasti sempat mengumpat-umpat, namun bila dicermati dengan teliti siapa saja yang pernah nyaris menabrak Lin Munro pasti menjadi orang sukses di kemudian hari. Selain suka berjalan-jalan dan mengamati para pemilik toko, Lin Munru senang menari-nari meniru gerak seorang balerina di depan pertokoan. Suatu ketika Lin Munru yang sedang asyik menari-nari menabrak seorang bocah yang membawa sangkar burung kecil. Waktu itu usianya sekitar sembilan tahun. Keduanya terjungkir akibat peristiwa tabrakan itu. Kalau sekadar tabrakan dan jatuh barangkali cerita akan sampai di situ saja. Kenyataannya, sangkar burung si bocah ikut jatuh dan burung di dalamnya langsung terbang. Si bocah termangu-mangu sebentar melihat burungnya melayang-layang bebas. Beberapa kejap kemudian, bagaikan hujan yang turun tiba-tiba, bocah itu menangis sambil meraung-raung. Lin Munru yang melihat burung itu melayang-layang di atap bangunan toko penjual perlengkapan memancing menepuk-nepuk bahu si bocah, ”Ssst, jangan nangis, nanti burungnya terbang,” katanya. Si bocah menghentikan tangisnya, menatap Lin Munru dengan pandangan yang lebih mengutuk ketimbang ibu Malin Kundang, lalu berdiri dan langsung berlari sambil berteriak-teriak menyambung tangisnya, ”Burung Kiki terbang! Burung Kiki terbang!” serunya berulang-ulang. Lin Munru seketika ikut bangkit dan berlari mengejar si bocah. Di sekitar pertokoan ada jalan ke arah kiri yang tembus ke cabang jalan menuju krematorium tua. Si bocah berbelok ke jalan kecil itu dan Lin Munru terus mengejarnya. ”Woii...” seru Lin Munru. Si bocah tidak peduli, dia terus berlari. Di ujung jalan kecil dia berbelok ke kiri, ke arah pusat simpang lima. Lin Munru agak kecewa karena mestinya si bocah berbelok ke kanan, ke arah krematorium tua. Sebetulnya tadi Lin Munru berencana ke krematorium sebab hari itu ada upacara kremasi di mana biasanya ada penyair yang membacakan satu puisinya. Lin Munru suka melihat penyair membaca puisi. Mereka tampak seperti binatang jalang yang terbuang dari kumpulannya, seperti sesuatu yang kelak retak sehingga dukanya abadi. Kadang-kadang Lin Munru juga melihat mereka seperti melihat api bekerja membakar selembar celana. Itu sungguh menyenangkan. Namun sayang, si bocah telah berbelok ke kiri dan urusan Lin Munru dengan bocah itu belum selesai. Sampai di ujung jalan si bocah yang masih meraung-raung melintasi jalan, lalu dengan cepat menuju cabang jalan yang mengarah ke barat. Di depan gedung bioskop yang sudah tak dipakai, dia berhenti sebentar melihat beberapa anak sedang main judi. Lin Munro ikut menyeberang dan kali itu tak ada kendaraan yang nyaris menabraknya. Karena terlena melihat anak-anak main judi, si bocah nyaris terkejar Lin Munru. Namun, dia segera sadar dan kembali meraung-raung sambil berlari ke cabang jalan yang menuju barat. Di ujung jalan itu terhampar sebuah pantai. Lin Munru berhenti sebentar di tempat si bocah tadi berhenti, bukan karena dia juga terlena oleh anak-anak yang main judi, melainkan karena dia melihat burung si bocah yang tadi lepas kini hinggap kembali di atap bangunan pertokoan di pojok jalan menuju selatan, yakni jalan yang mengarah ke jembatan di mana mengalir sungai di bawahnya. Lin Munru merasa burung itu seperti mengikutinya, atau mungkin mengikuti tuannya. Lin Munru tiba-tiba merasa malas melanjutkan pengejarannya. Kalau saja dia tidak benar-benar penasaran pada satu hal dan jawaban dari rasa penasaran itu hanya mungkin didapat dari si bocah, mungkin dia sudah berbalik arah menuju krematorium tua. Ketimbang rasa penasarannya tak terjawab, Lin Munru memilih membuang rasa malasnya dan kembali mengejar si bocah. Kali ini dia tak lagi berlari, melainkan berjalan pelan-pelan sambil sesekali memperhatikan burung si bocah. Saat itu hampir senja. Langit seperti kain yang luntur warnanya dan bentuk-bentuk awan menyerupai kapas yang terburai dari bungkusnya. Jalan ke arah barat yang menuju pantai itu adalah cabang jalan yang paling sepi di antara keempat cabang lainnya. Sepanjang jalan itu berdiri rumah-rumah dan gudang-gudang tua sisa peninggalan dari masa ketika pelabuhan kecil di pantai masih beroperasi dan para pedagang berdatangan dari berbagai penjuru. Lin Munru tahu si bocah pasti menuju pantai sebab pantai adalah tempat yang paling suci untuk menangis. Dia sendiri kadang-kadang pergi ke pantai, bukan untuk menangis, melainkan untuk melihat orang-orang menangis. Pada waktu-waktu tertentu Lin Munru senang melihat orang menangis. Sebab setiap melihat orang menangis, dia selalu membayangkan orang itu adalah penyair. Tadi ketika melihat si bocah menangis, sebetulnya Lin Munru sempat membayangkannya sebagai seorang penyair, tapi bayangan itu buyar karena si bocah keburu lari. Sesampai di pantai senja berangsur tua. Sebuah senja di pelabuhan kecil. Lin Munru melihat si bocah duduk di pasir menghadap ke laut. Bocah itu kelihatan seperti baru saja dikutuk ibunya hingga jadi batu. Orang-orang yang lalu-lalang tak memperhatikan. Dia masih terisak-isak ketika Lin Munru duduk di sampingnya. Mereka tidak berbicara. Pandangan mereka sama-sama terarah ke laut. Di mata Lin Munru ombak-ombak bergerak seperti sekumpulan balerina, di mata si bocah sampan-sampan di kejauhan seperti burung-burung yang lepas melayang. Setelah beberapa lama Lin Munru kemudian menjulurkan tangannya, ”Nama saya Sri. Namamu siapa?” Si bocah menyambut juluran tangannya, tapi tidak menjawab pertanyaannya. Lin Munru kembali berkata, ”Tadi saya kejar kamu soalnya saya penasaran.” Si bocah menoleh, ”Penasaran?” ”Iya, boleh saya bertanya?” Si bocah mengangguk. ”Tadi saya dengar kamu berteriak-teriak sambil menyebut satu nama; Kiki. Kalau boleh tahu itu namamu atau nama burungmu?” Si bocah terkikik mendengar pertanyaan itu. Roman mukanya jadi kelihatan ganjil. ”Nama saya Chairil. Chairil Anwar,” jawabnya. ”Nama lengkapmu siapa?” Lin Munru ikut terkikik, ”Ayati,” jawabnya. ”Sri Ayati.” Mereka berdua lalu terkikik bersama-sama seakan-akan mereka adalah kawan yang sekian lama tak berjumpa. Rasa penasaran Lin Munru juga menguap seketika. Dengan riang keduanya berlarian di pantai, melompat-lompat, berkejaran, dan sesekali menghambur ke bibir laut. Mereka menjerit-jerit ketika air berusaha menyeret mereka. ”Chairil!” seru Lin Munru, ”Saya bohong,” lanjutnya. ”Nama saya bukan Sri.” Baca Juga Lokasi Dugaan Bom Bunuh Diri Makassar Dekat dengan 3 Titik Penting Chairil Anwar kembali terkikik mendengar pengakuan itu, ”Saya tahu!” teriaknya. Setelah itu dia menunjuk-nunjuk ke angkasa, ”Burung Kiki terbang!” serunya, lantas berlari menjauh dari pantai. Lin Munru tak lagi memedulikan bocah itu. Dia menari-nari sendirian meniru gerak seorang balerina. Dia terus menari-nari sampai kemudian nyaris tertabrak seorang laki-laki yang jalan bergegas seakan-akan baru saja mendapat ilham setelah beberapa lama menatap laut. Laki-laki itu sempat mengumpat sembari terus bergegas. Kelak laki-laki itu akan menulis sebuah puisi tentang cumi-cumi yang dibayangkannya seperti saputangan dan puisi itu dengan segera membuatnya jadi penyair ternama. * Kekalik, 11 Maret 2021 - KIKI SULISTYO Lahir di Kota Ampenan, Lombok. Meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? Basabasi, 2017, dan Buku Puisi Terbaik Tempo 2018 untuk Rawi Tanah Bakarti Diva Press, 2018. Kumpulan puisinya yang terbaru berjudul Dinding Diwani Diva Press, 2020. Saksikan video menarik berikut ini Meskipun bentuknya singkat dan padat, umumnya orang lain kesulitan untuk menjelaskan makna puisi yang disampaikan dari setiap baitnya. Itulah informasi tentang tema puisi senja di pelabuhan kecil karya chairil anwar yang dapat admin kumpulkan. Foto Penulis Senja Di Pelabuhan Kecil Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap Puisi merupakan salah satu bentuk apresiasi yang kita miliki, dengan adanya puisi kita bisa menyampaikan apa yang ada dipikiran kita. Puisi juga bisa digunakan sebagai wadah untuk kita selalu berkreasi dalam tulisan yang dibuat. Lebih tepatnya puisi sebagai karya sastra yang terikat dengan rima, irama, penyusun bait, serta baris bahasanya terlihat indah dan penuh makna. Bahasa yang terlihat indah dan bermakna digunakan untuk mengambarkan suatu suasanya yang diciptakan oleh pengarang. Pengarang bisa mengambarkan perasaan sedih gembira, putus asa, jatuh cinta, dan kesal dari penyusunan bahasa yang digunakan. Puisi sedih dan gembira yang dituliskan oleh seorang pengarang bisa saja berasal dari curhatan hati atau perasaan pribadi, seperti puisi senja di pelabuhan kecil karya Chairil Anwar. Puisi Senja di Pelabuhan Kecil mengambarkan mengenai kisah sedih seorang pria namun, masih memiliki sikap yang tegas. Kesedihan yang dialaminya adalah perasaan yang pesimis dikarenakan cinta yang kandas. Hancurnya sebuah hubungan yang telah dijalani oelh seseorang menjadi pemicu dari keterpurukan yang ada di dalam diri kita. Cinta terkadang menjadi hal yang penting bagi sebagian orang. Saat cinta yang ia memiliki telah pergi meninggalkannya maka itu akan mempengaruhi diri sendiri dan kehidupan sehari-hari yang dijalani. Cinta bisa menjadi sebuah sumber kebahagiaan bagi seseorang dan diri sendiri. Kebagiaan seseorang yang sedang jatuh cinta tidak bisa diukur dengan apa pun, dengan cinta ia bisa mengubah hari-hari yang kelam menjadi berwarna, namun saat cinta hilang hari yang berwarna pun menjadi suran tanpa ada senyuman. Puisi Chairul Anwar bisa menarik pembacanya larut dalam kesedihan yang ia tuangkan dalam puisi. Puisi ini ditunjukkan untuk Sri Anjati, dimana dia adalah kekasih pujaan yang sangat dicintai oleh Chairil Anwar namun tidak bisa bersama lagi. Kesedihan dan kekosongan hati yang dirasakan Chairil Anwar dituangkan dalam semua puisi yang berjudul senja di pelabuhan kecil. Tidak ada lagi yang mencari cinta dimaksudkan bahwa ia sedang putus asa karena ditinggalkan Sri Ajati. Ia merasakan kehilangan yang sangat mendalam akibat ditinggalkan oleh orang yang sangat berharga bagi hidupnya. Penulis merasakan bahwa ia telah menyia-yiakan cinta yang datang dan mengabaikannya, sehingga membuat Sri Anjati pergi. Pengambaran gudang dan rumah tua yang dituliskan dalam lirik puisi mengambarkan hatinya yang sedang kosong. Kekosongan di dalam hati yang di rasakannya membuat ia merasa sendiri dan terpukul. Semua yang ia rasakan kosong tidak berwarna akibat ditinggalkan oleh Sri Anjati, itulah pengambaran dari diri Chairil Anwar. Pengambaran bati yang kosong juga dapat dilihat dari lirik puisi Perahu tidask berlaut. Maksud dari perahu tidak berlaut adalah tidak ada lagi orang yang bisa merebut hatinya kecuali Sri Anjati, dimana semua orang yang telah mendekatinya tidak bisa merebut perasaan yang ia punyai. Lirik puisi yang selanjutnya adalah menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut dimana ia pasrah akan keadaan yang dimiliki sekarang ini. Pengambaran suasana saat pengarang sedih adalah gerimis mempercepat kelas dimana seolah kesedihan yang ia rasakan cepat berlalu tengelam oleh hari-hari yang ia lewati. Hari berganti seperti biasanya namun, kesedihan yang ia rasakan terus berlanjut seiring berjalannya waktu. Kesedihan itu tidak memudar sedikit pun meski hari telah berganti. Melewati hari-hari yang buruk dengan kesedihan yang ia rasakan. Meskipun ia mencoba lari dari kesedihan yan dirasakan semua itu terasa sia-sia. Kesedihan masih mengikuti dirinya hingga waktu yang lama. Puisi Senja di pelabuhan kecil memiliki makna konotatif atau makna yang tidak sebenarnya. Ia mengambarkan apa yang dirasakan dengan menemu bujuk pangkal akanan tidak bergerak dimana maksud dari lirk tersebut adalah sedih yang dirasakannya masih sama tidak berubah sedikit pun dari dirinya. Serta tiba-tiba ia ingin menghilangkan kesedihan yang dirasakannya karena sudah lelah merasakan kesedihan akibat ditinggal oleh seseorang yang dicintainnya. Merasakan kesendirian, bagai seseorang yang tidak punya siapa-siapa, itulah perasaan yang dirasakan oleh pengarang. Parasaan tersebut digambarkan dengan lirik tiada lagi, aku sendiri, berjalan. Meski hanya ditinggal oleh satu orang yang berharga baginya ia merasa bahwa tidak ada lagi yang menemani hari-hari yang dilewatinya, seolah tidak ada seseorang yang dijadikan sandaran lagi. Menyisir semenajung adalah pengambaran makna denotasi atau makna yang sebenarnya. Ia memiliki harapan yang besar kepada Sri Anjati untuk kembali lagi ke dalam pelukannya agar bisa bersama-sama menghabiskan hari yang indah berdua. Besarnya harapan yang ia miliki membuat pengarang makin tersikasa dengan harapan yang dimilikinya. Sekali tiba diujung dan sekalian selamat jalan adalah pengambaran bahwa jika segala sesuatu yang kita mulai telah selesai maka itulah akhir dari perjalanan yang dimulai. Segala sesuatu yang ada pasti memiliki akhir yang bagus atau pun buruk, semua sudah ditentukan dari perbuatan yang telah kita lakukan. Pengambaran ini adalah sudah mencapai batas dari perjuanagan cinta yang dilaluinya. Diakhir itulah kesedihan yang dirasakan harus berhenti dan memikirkan hal yang baru lagi. Sedu penghabisan bisa berdekap adalah pengambaran bahwa perasaan yang dimilikinya telah usai dan tidak ada lagi kesedigan yang dirasakan setelah semua berahir. Saat luka yang diamali seseorang menjadi semakin dalam mereka hanya bisa meratapi keadaan yang ada .Perasaan yang dialaminya hanyalah kesedihan. Kesedihan atas kesendirian, kesepian, kedukaan, yang ditinggalkan oleh Sri Ayati kekasih pujaan yang selama ini diratapinya. Meskipun telah kehilangan cinta yang begitu besar kita harus selalu ikhlas dengan jalan hidup yang sudah dipilih. Jaganlah merasakan kesedihan yang begitu berlarut-larut karena semua pasti akan kembali, dan kita akan mendapatkan apa yang pantas kita dapatkan. Penulis Ucik Susilowati Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang Puisidi bawah ini juga karya Chairil anwar. Puisi dibawah ini berjudul Senja Di Pelabuhan Kecil Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
Puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” dari segi kebahasaanya menggunakan bahasa yang sulit dipahami sehingga pembaca harus mengkaji makna dari setiap kata yang Chairil tulis dalam puisi tersebut untuk kemudian memahami isi dari puisi tersebut tapi ketika pembaca sudah memahami isi dari puisi maka pemabaca juga bisa merasakan apa yang sedang diBacalah puisi di bawah ini, kemudian jawab nomor 28 dan 29! Senja di Pelabuhan Kecil (Chairil Anwar) Ini kali tidak ada yang mencari cinta. di antara gudang, rumah tua, pada cerita. tiang serta temali, kapal, perahu, tiada berlaut. menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut. gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang Dari ke-28 judul itu ada beberapa yang sudah saya kenal ketika SMP/SMA yaitu Aku (yang begitu legendaris), puisi Doa, Kepada Peminta-Minta, Cerita Buat Dien Tamaela, serta Senja di Pelabuhan Kecil. Sedangkan judul-judul puisi Chairil Anwar yang lain baru kenal beberapa waktu kemarin. Karyamonumental seorang Chairil Anwar, Senja Di Pelabuhan Kecil adalah salah satunya. Berpuluh kali saya membaca dan menyimak puisi ini guna mencari letak kekuatan puitiknya, dan saya perbandingkan pula dengan analisis puisi dari banyak orang tentang puisi ini, namun sampai hari ini saya belum juga punya kesimpulan dimana letak kekuatan puitik dari puisi ini.